Arsid tak mahir melakukan akrobat panggung politik, seperti umumnya politisi atau calon kepala daerah lainnya di Indonesia. Tapi, Arsid punya komitmen: tak mungkin ia mengabaikan nilai-nilai serta tak mengacuhkan apa yang baik dan yang benar. Ia juga paham, tak mungkin dirinya menampik persoalan ketakadilan, toh, seperti kita semua, ia juga punya daftar panjang tentang hal-hal yang tak mungkin diabaikan: korupsi, kecurangan, juga ketimpangan sosial.
Pengalamannya sebagai camat di beberapa wilayah Tangerang Selatan telah meningkatkan pemahamannya tentang karakter daerah ini sebagai sebuah tatanan masyarakat yang tersusun dari berbagai macam bentuk kehidupan dan orientasi nilai: masyarakat kota multikultural. Maka tak heran bila Arsid berhasil membangun politik populis yang bersifat lintas agama, lintas etnis-kultural, dan berlaku umum (universal)—seraya tak melupakan kultur sendiri.
Ia juga memahami demokrasi lebih dari sekadar perangkat aturan dan prosedur konstitusional yang menentukan bagaimana suatu pemerintahan berfungsi. Arsid pernah mengatakan, “Dalam sistem demokrasi, pemerintah adalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam suatu struktur sosial dari lembaga-lembaga yang variatif, partai politik, juga asosiasi”. Artinya, tata yang diupayakan di Tangerang Selatan adalah sebuah tata yang selalu terbuka untuk langkah alternatif, selalu bersedia mencoba cara yang berbeda dengan sumber kreatif yang beraneka.
Ia tahu, untuk menuju ke sana, kita perlu menegakkan good government governance, yang dapat dipahami sebagai good exercise of power--yang erat kaitannya dengan program pengentasan kemiskinan (social safety net), tingkat keamanan finansial, serta potensi pertumbuhan daerah. Setidaknya ada sejumlah prinsip yang harus dipenuhi dalam GGG di antaranya; Sustainability, Subsidiarity, Equity, Efficiency, Transparency dan Accountability, Civil Engagement and Citizenship, dan Security.
Sebagai seorang birokrat, Arsid memahami bahwa dirinya tak bisa abai dengan konsep Max Weber, yang mempertautkan birokrasi dengan keniscayaan dunia modern: lembaga yang memiliki arah atau sasaran yang terfokus, dan dengan demikian bersifat impersonal. Karena itu mencoba lebih fokus pada kualitas tingkat pelayanan yang diberikan kepada publik: bagaimana menata ulang prosedur pelayanan, penataan organisasi lembaga pengelolanya agar lebih efisien dan efektif, peningkatan kompetensi personil yang bekerja, dan kajian kebijakan yang mendukung peningkatan kinerja pelayanan.
Meski ia menyadari, sebuah kota—bahkan bila segemerlap Paris atau Madrid—bukanlah tempat yang selama-lamanya longgar. Tak ada bagian kota yang dapat bebas dari kelangkaan dan kekurangan. Tapi, percayalah, bahwa tiap keadaan, sebenarnya bisa diubah, toh, kita sebenarnya bisa memilih apa yang baik untuk diri sendiri dan orang lain. Apa yang akan terjadi nanti, Anda juga yang menentukannya.
COBLOS ULANG, 27 Februari 2011