Oleh: Umar Sholahudin
(Dosen Sosiologi Hukum, Universitas Muhammadiyah Surabaya)
Departemen Dalam Negeri (Depdagri) memublikasikan, ada 155 kepala daerah- 17 di antaranya gubernur- yang berstatus sebagai tersangka kasus hukum. Kondisi ini tentunya membuat kita prihatin. Dan yang lebih ironis lagi, 155 pejabat tersebut -baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota- berstatus sebagai tersangka kasus korupsi. Mendagri mengaku, hampir setiap pekan ia menerima permohonan izin pemeriksaan terhadap kepala daerah karena berstatus sebagai tersangka atau surat penonaktifan sementara kepala daerah.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sebanyak 10 tersangka dugaan korupsi, terpilih menjadi kepala daerah periode 2010-2014. Ini merupakan pemantauan ICW terhadap pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di 244 daerah di Indonesia selama 2010.
Jika hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu, rekayasa, politicking, dan pat-pat gulipat dari aparat penegak hukum, maka mungkin bukan hanya 155 pejabat atau 10 kepala daerah yang menjadi tersangka kasus hukum (tindak pidana), melainkan bisa ribuan pejabat dan kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Tidak sedikit kasus-kasus korupsi yang menyangkut pejabat penting dan kepala daerah, baik itu di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota yang sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi, sehingga mereka lolos dari jeratan korupsi pada pemeriksaan atau penyidikan awal. Aspek politik dan ekonomi merupakan faktor yang paling dominan dari lolosnya para pejabat itu dari jeratan hukum.
Ironi demokrasi
Fakta dan data tersebut semakin menambah keprihatian kita semua. Demokratisasi di tingkat lokal yang diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah (pemilukada) secara langsung, secara filosofis sebenarnya dirancang untuk lebih mendekatkan pemimpin dan kebijakannya dengan rakyat yang dipimpinnya, serta lebih mudah menggali aspirasi rakyat, sehingga menjadi ia pemimpin rakyat. Tetapi, kenyataannya semua itu hanya ilusi politik. Pemilukada justru cenderung melahirkan kepala daerah yang bermasalah, terutama dalam kasus korupsi.
Ini adalah sebuah ironi. Pilkada atau pemilukada langsung yang diharapkan melahirkan pemimpin yang dekat dengan rakyatnya dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ternyata semakin jauh dari hati rakyat, dan malah enjoy dengan kekuasaannya. Para kepala daerah seperti langsung terserang penyakit "autisme politik", lupa diri akan nasib rakyatnya, enjoy dengan dunianya sendiri (baca: kekuasaan) yang memabukkan. Mereka lupa dan bahkan tidak mau tahu dengan kondisi riil rakyatnya. Rakyat dibiarkan tertatih-tatih, jatuh-bangun sendiri untuk mengurusi kehidupannya. Pemerintah daerah dan rakyat seperti berada di dunia yang berbeda yang semakin menjauh.
Pengangguran, kemiskinan, anak putus sekolah, kesehatan murah sulit diakses, pelayanan publik jadi beban masyarakat, harga pangan melambung, utang menumpuk, rakyat makan aking atau tiwul karena beras sulit dibeli, dan akhirnya rakyat frustrasi dengan melakukan bunuh diri. Semuanya itu adalah fenomena harian yang menjadi tontonan masyarakat kita.
Sebuah realitas yang paradoks, di saat masyarakat disibukkan oleh pelbagai kesulitan hidup, sementara pada saat yang sama para elite daerah kita bertabur kemewahan dan keserakahan.
Apa sesungguhnya yang terjadi pada demokrasi lokal ini? Demokrasi sebagai salah satu sistem politik pemerintahaan yang dianggap paling baik dari sistem politik pemerintahan yang lain, seperti oligarkhi, monarkhi, teokrasi otoritarianisme, dan sebagainya. Para intelektual politik mengatakan, sistem demokrasi bisa dikatakan yang terbaik dari yang terburuk dari sistem politik pemerntahan yang ada di dunia. Dengan kata lain, sistem demokrasi pun ternyata mengandung distorsi. Ini semakin parah ketika sistem ini dipegang oleh aktor-aktor demokrasi yang bermasalah. Integritas dan kredibilitas aktor-aktor demokrasi kita sangat rapuh, sehingga sistem demokrasi ini bukannya melahirkan kesejahteraan, namun justru sebaliknya; para pejabat dan kepala daerah yang korup.
Secara teoretis bahwa pemerintahan yang demokratis di bangun atas dasar transparansi, responsibilitas, dan akuntabilitas. Namun, semua itu mengalami kenihilan dalam kehidupan demokrasi daerah kita. Kehidupan yang demokratis yang salah satunya mewujud dalam pelaksanakan pilkada atau pemilukada masih sebatas mimpi. Pemilukada masih sebatas ritual lima tahunan yang masih sebatas melahirkan pemimpin daerah, itu pun kadang kompetensi dan kualitasnya dipertanyakan publik. Pilkada atau pemilukada belum mampu menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat. Masyarakat juga mempertanyakan pesta demokrasi pilkada itu sendiri. Masyarakat hanya dijadikan alat legitimasi politik lima tahunan saja, setelah pilkada masyarakat ditinggalkan. Seperti pepatah; habis manis sepah dibuang.
Mengapa terjadi?
Mengapa semua ini bisa terjadi? Pertama karena faktor sistem, terutama regulasi terkait dengan rekrutmen politik melalui pilakda ini. Salah satunya, UU kita masih membolehkan calon seorang tersangka kasus hukum mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan banyak celah hukum lainnya, yang dimanfaatkan para calon kepala daerah untuk terus memburu kursi kekuasaan. Kondisi ni diperparah lagi, dengan dominasi ideologi materialism dan kapitalisme yang menopang pilkada ini, sehingga menjadi pilkada ini melahirkan pejabat korup.
Kedua, faktor aktor politiknya. Rendahnya integritas, kredibilitas, dan kapasitas calon kepala daerah menjadi penyumbang terbesar muncuknya pemerintahan yang korup. Moralitas para calon hanya memburu hasilnya, yakni kursi kekuasaan, meskipun dengan menghalalkan segala cara. Berkuasa bukan untuk mengabdi kepada rakyat, tapi berkuasa untuk mencari keuntungan material, mereka sepeti job sicker. Karena itu, kita perlu perubahan dan perombakan secara revolusioner atau mendasar, baik menyangkut sistem dan regulasinya maupun aktor-aktor politiknya. Keduanya harus menjadi paket perubahan integral dalam agenda perubahan UU Pilkada yang baru.
--------
Sumber:
http://republika.co.id:8080/koran/24/128045/Ironi_Demokrasi_Daerah
Ironi Demokrasi Daerah
|
|
---|