SUKA tidak suka, mesti kita akui bahwa Tangerang Selatan nyaris berada di titik rawan situasi urban sprawling, yakni pembangunan yang tidak terpola dengan baik, hingga berakibat munculnya sejumlah persoalan tata ruang yang kompleks, di mana permasalahan di satu subsistem akan mempengaruhi subsistem lainnya. Seperti kota-kota besar lainnya di Indonesia, Tangerang Selatan kian dirundung macetnya lalu lintas: sebuah indikasi bahwa ruas jalan tak (pernah) cukup. Maka kita seringkali begitu lebih lama di jalanan ketimbang di kamar.
Saya melihat, permasalahan tata ruang bukan sekadar soal bagaimana melakukan tahapan pengembangan wilayah yang terdiri dari perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang, tetapi juga tentang itikad baik dan komitmen dalam mengedepankan kepentingan publik. Sebab itu saya, juga ratusan ribu orang di kota ini, memercayai Arsid—dengan bermodalkan itikad baiknya--dapat mengatasi sejumlah program pengembangan selama lima tahun pertama kota ini.
Toh, bukankah selama ini kita sudah belajar dari Arsid bahwa politik juga berarti sebuah sikap gotong-royong, kebersamaan yang tulus?. Maka, sesibuk apa pun sebuah kota, pada akhirnya kita akan membutuhkan ruang, sebagiannya tersembunyi dalam hati, yang tak hendak dan tak bisa diperjual-belikan: sebuah pojok di taman, sebuah sudut kota yang menyimpan kenangan, sebuah pasar yang menambat hati, sebuah kedai, sebuah stasiun bis, juga sebuah tempat pertemuan yang ramah. Karena kota ini juga bukanlah sebuah ruang transit—bahkan bila ia sungguh-sungguh mampu menjadi “Singapura” di Banten.
Negeri Singa itu juga mengawali pembangunannya dengan itikad baik, ketika tiap hal dilaksanakan secara transparan dan terbuka untuk publik. Tiap warga dapat dengan mudah mengakses masterplan pembangunan Singapura, baik di kantor The Urban Redevelopment Authority (URA) maupun lewat internet. Pemerintah Singapura pun cukup disiplin saat menjaga konsep dasar pembangunannya yang telah disusun sejak tahun 1971, dengan beberapa bagian direvisi untuk menyesuaikan perkembangan zaman. Kereta api cepat atau MRT yang dibangun pada era 1990-an, misalnya, telah tercantum di rencana tata ruang kota Singapura sejak 1971.
Maka dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) sebagai landasan pembangunan sektoral yang berbasis ruang agar terjadi sinergi dan efisiensi pembangunan, jangan sampai menjadi macan kertas. Sebab kedisiplinan terhadap RTRW sangat penting untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik pemanfaatan ruang antarsektor yang berkepentingan dan menciptakan urban sprawling—yang dapat mendorong Tangerang Selatan menjadi sebuah “kampung besar” yang sumpek, dengan tingkat kemerosotan daya dukung lingkungan yang signifikan dan rentan dengan penyakit sosial yang makin beragam.
*****
SAYA rasa Arsid paham sekali bahwa rendahnya daya tawar pemerintah daerah terhadap pengembang swasta bakal menimbulkan resiko munculnya opportunity cost—baik nilai ekonomi langsung maupun tidak langsung. Opportuniy cost adalah peluang ekonomi yang hilang akibat kekeliruan dalam pengambilan keputusan terhadap alokasi pemanfaatan ruang suatu kawasan. Akibatnya, ekstraksi terhadap suatu kawasan sering diikuti dengan timbulnya anggaran eksternalitas yang bukan tidak mungkin nilainya bisa melampaui angka keuntungan jangka pendek dari praktik ekstraksi tersebut.
Hal ini dapat dilihat ketika pemerintah daerah harus mengeluarkan anggaran penanganan banjir atau bencana alam lainnya—seperti peristiwa Situ Gintung, misalnya--sebagai akibat dari kekeliruan pengambilan kebijakan dalam penetapan tata guna lahan. Artinya, dibutuhkan kejelian dan kecermatan para perencana daerah maupun pengambil kebijakan dalam melakukan pengembangan dan pemanfaatan ruang ke depan. Kita harus sungguh-sungguh pandai berhitung, yang mengacu pada studi dan penelitian, mengenai nilai ekonomi bersih dari setiap alokasi pemanfaatan ruang sebelum mengambil keputusan.
Memikirkan kembali konsekuensi dari apa yang diputuskan, sebagai dampak positif-negatif sebuah penataan ruang, termasuk bagaimana mengelola dampak terburuk yang diperkirakan bakal muncul. Karena pada dasarnya, apa yang akan terjadi dalam sebuah perencanaan tata ruang, pokok pertimbangannya bukan sekadar perbandingan antara “nilai manfaat” (nilai ekonomi peranan ekologis dalam mendukung perekonomian lokal jika dapat mempertahankan keutuhan ekosistem) dengan “nilai biaya” (nilai finansial dari praktik ekstraksi sumber daya lokal yang dilakukan swasta).
Maka yang terbaik dari apa yang kita punya adalah, perencana daerah harus mempertimbangkan konsep pembangunan partisipatif--dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders)--serta tidak mengabaikan pendekatan ekologis. Pada tataran ini, dengan penguasaannya yang tinggi terhadap karakter Tangerang Selatan, Arsid akan jauh lebih mudah merealisasikannya, ketika ia mengawali program pembangunan daerah dengan sebuah perencanaan tata ruang yang memperhitungkan pola pembangunan berkelanjutan dengan dimensi ekonomi, sosial, dan ekologi, serta kebijakan transportasi baru yang bersifat efektif dan komprehensif.
Setidaknya ada beberapa prinsip yang harus menjadi pertimbangan dalam konteks pembangunan kota berkelanjutan, di antaranya; environment (lingkungan), enforcement (penegakan hukum), employment (lapangan kerja), engagement (partisipasi masyarakat), enjoyment (warga menikmati suasana kota), energy concervation (bangunan dan transportasi yang hemat energi atau ramah lingkungan), ethic (etika dalam membangun), dan equity (hak yang sama terhadap sesama warga kota).
*****
TERKAIT dengan era globalisasi saat ini, banyak kota dan wilayah--mau tidak mau—akan terintegrasi dalam suatu jejaring (networks) di mana satu wilayah dengan wilayah lainnya akan saling terkait erat. Maka, kebijakan tata ruang menjadi sangat berkaitan dengan kebijakan sistem prasarana transportasi yang diterapkan. Prasarana transportasi merupakan sebuah sistem jaringan yang secara fisik menghubungkan satu ruang kegiatan dengan ruang kegiatan lainnya. Antara ruang kegiatan dan transportasi terjadi hubungan yang disebut siklus penggunaan ruang transportasi.
Dengan demikian, perencanaan transportasi dan rencana tata ruang—dalam konteks hubungan timbal balik—harus dapat dihubungkan secara terpadu (integral) sehingga interaksi transportasi di dalam jaringan mampu mendukung roda perekonomian masyarakat, meningkatkan produktifitas, mengurangi waktu tempuh perjalanan, melancarkan arus lalu lintas, mengurangi potensi kecelakaan lalu lintas, meningkatkan harga properti, dan menciptakan lingkungan yang sehat.
Ini yang disebut perencanaan tata ruang dengan konsep jejaring kota (network of city), di mana kota dirancang secara bersama-sama yang akan menghubungkan dengan kota-kota lain di sekitarnya melalui jaringan transportasi umum. Di sini, perencana daerah harus mampu mengembangkan kebijakan tata ruang secara terpadu yang mampu mengatur hubungan antarwilayah. Meski kita tahu, kota dan wilayah yang terimbas serta terintegrasi ke dalam jejaring itu sebenarnya bersifat selektif. Artinya, hanya kota dan wilayah yang memiliki keunggulan (competitiveness) saja yang dapat masuk ke dalam sistem tersebut—setelah terjadi kompetisi dalam menarik minat investasi.
Kita sama-sama tahu, ini prasyarat yang tidak mudah, dan sebab itu--sekali lagi--kita memilih Arsid untuk memimpin kota ini. Karena kita tak ingin kota ini dipenuhi dengan masyarakat yang bukan masyarakat, sehimpun orang ramai yang berhubungan satu sama lain tapi saling tak mempercayai. Karena kita tak ingin Tangerang Selatan menjadi sebuah kota yang dibuat tak berdaya oleh korupsi yang bukan sekadar mencuri. Ketika korupsi bukan sekadar perbuatan jahat yang “membangun” wilayah dengan menyulap biaya sampai melambung maupun pembuatan proyek fiktif atau tanpa guna untuk mendapatkan anggaran.
Korupsi pada sebuah kota adalah jumlah dari semua itu ditambah dengan efek sampingnya yang tak terelakkan: kelumpuhan di tengah krisis. Pada saat itulah, kota ini akan runtuh, pelan-pelan. Saya rasa soal ini bisa diselesaikan dengan memilih pemimpin yang sungguh-sungguh mencintai Kota Tangerang Selatan. (*)
ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 18 Februari 2011
|
|
---|