KAU BENAR ARSID, bahwa fitnah tak perlu dilawan dengan fitnah: keadilan tak dengan sendirinya lahir ketika kekejaman diselesaikan dengan kebengisan serupa. Bahkan riwayat Keris Empu Gandring dari Jawa abad ke-11 pada akhirnya adalah kisah tentang kepedihan, ketika Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, lalu—atas nama “keadilan”—Ken Arok dibunuh Anusapati, dan selanjutnya Anusapati dibunuh Tohjaya. Kita tahu, keadilan bukan dendam: “mata bayar mata”. Kesabaran, pada gilirannya juga bisa menyentuh banyak orang.
Jangan lupa, banyak mata saat ini sedang menyaksikan dengan decak kagum ketika ratusan ribu penduduk Tangerang Selatan memenuhi lokasi pemungutan suara untuk memilihmu. Ketika mereka merogoh kocek sendiri untuk membuat selembar bendera bergambar fotomu, menyetak selebaran sederhana, serta membeli kopi-gula-rokok untuk menerima tamu yang bakal mendukungmu. Ketika dengan kesadaran penuh warga menghalau yang selama ini mengganggu kehidupan kota di mana pun: saat orang hanya memikirkan diri sendiri.
Memang, yang merisaukan dari sebuah fitnah bukanlah karena kebohongan itu dikhawatirkan dapat menyesatkan. Ia dirisaukan karena lahir dari ketidakadilan dan kebencian, serta berpotensi memicu gagalnya banyak pihak—yang memfitnah maupun yang difitnah, yang marah atau yang dimarahi—untuk tak tertular borok itu. Toh, fitnah—yang dirangkai dalam berbagai tulisan atau pemberitaan dengan ungkapan yang buruk--merupakan sesuatu yang diringkas dari prasangka, antusiasme, kepanikan, kepada pihak lain yang berbeda, dengan tujuan mempermalukan dan merendahkan.
Tapi kita juga paham, siapa pun yang melakukan itu pada akhirnya akan berhadapan dengan kenyataan bahwa “moralitas” yang ingin ditegakkannya justru menjadi absurd. Karena “moralitas” tersebut dibangun dengan mengedepankan hasrat untuk menguasai secara brutal dan takabur. Maka satu pertanyaan yang terganjal: beranikah warga Tangerang Selatan menyerahkan kepemimpinan kota ini kepada orang-orang yang isi kepalanya selalu dipanasi rasa asyik terhadap syak wasangka kepada tiap hal yang berbeda dengan dirinya?.
Kau pasti tahu Arsid, dengan pemahamanmu tentang kota ini, sikap purbasangka itu merupakan bentuk pengingkaran dari nilai-nilai multikultural, keragaman, yang telah lama mendasari kota ini. Penebar fitnah—seperti kelompok ekstrem kanan lainnya di mana pun--cenderung mengedepankan kebencian yang dilebih-lebihkan ketimbang kerukunan, dengan menegakkan apa yang “baik” dan “tak baik” dalam masyarakat hanya berdasarkan keyakinannya sendiri: dominasi total.
Hannah Arendt pernah menulis dalam bukunya The Human Condition (1958): “Dalam konteks upaya penguasaan secara total, proses penghancuran kekuatan pesaing tidak perlu lagi dilakukan dengan menyerang berdasarkan kejahatan yang secara obyektif dilakukan, tetapi cukup merekayasa kesalahan untuk (kemudian) dituduhkan”. Mengerikan, memang. Ada yang lupa bahwa hidup tak melulu soal penghancuran dan penguasaan, seraya memaksakan satu-dua azas saja.
Ini mengingatkan saya pada zaman kelam ketika Cesare, putra Kardinal Borgia yang terkenal rupawan dan gagah, membantu sang ayah untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Nafsu lelaki yang dikagumi kaum perempuan karena ketampanannya ini hanya satu: kekuasaan. Maka bisa ditebak bagaimana perilakunya. Ia menjadi sosok kontroversial: keji, brutal, cerdik, culas, sekaligus dapat “menenangkan” rakyat.
Cesare adalah tipe penguasa yang tegas dan efektif dalam menipu, menjebak, dan membinasakan siapa pun yang menghambat jalannya menuju penguasaan. Namun dalam memerintah, Cesare—yang hidup menyendiri, setengah sembunyi, di Roma—dapat begitu pintar mengambil hati rakyat di bawahnya. Sebab itu sejarah kekuasaannya, seperti kekuasaan ayahnya, menjadi sejarah perdebatan yang tak berkesudahan—bahkan bukan hanya di Italia.
Meski banyak orang mengakui, dorongan utama Cesare dalam hidup hanyalah dorongan politik semata: kekuasaan dan ketertiban, sebab itu tak heran bila Machiavelli sangat mengaguminya. Sebuah tindakan yang sesungguhnya merendahkan proses politik itu sendiri, ketika politik (hanya) dianggap sebagai sesuatu yang dipandangi secara was-was terus-menerus: pertempuran yang tak pernah selesai dan dengan menghalalkan segala cara.
Agaknya kita lupa, cepat atau lambat--kata Weber--penilaian lain (akan) menonjol: penilaian berdasarkan rasa tanggung jawab atas keselamatan masyarakat umum dengan segala beda keyakinan tentang apa yang “baik” dan “tak baik” yang diterima keramaian itu. Artinya, ini adalah soal “pengakuan” bagaimana memahami kehadiran orang lain dalam perkara “ada” dan “tiada”, yang pada gilirannya akan menggiring kita untuk lebih peka terhadap “batas”.
Diakui atau tidak, kita akan segera menyadari bahwa tiap kekuatan, juga kekuasaan—sebesar apapun--sesungguhnya memiliki batas. Benar, manusia dapat mengakali dunia, namun sifatnya tak abadi. Manusia menyusun proyeksi, langkah dan skala prioritas, seraya menyadari bahwa ia (sesungguhnya) tak pernah tahu apa-apa saja yang akan berubah bersama waktu serta bagaimana proses perubahan itu sendiri. Di sini kita tahu, akan selalu ada hal-hal yang tak bisa hadir lagi.
Maka teror bahasa yang belakangan ini dialami Arsid—seperti di Burma, atau Mesir sebelum Mubarak lengser, dengan koran lokalnya yang muram dan tak mencerahkan--sesungguhnya telah mengambil alih posisi hukum dan menghancurkan hal terbaik dari apa yang kita punya: martabat manusia. Sebagai korban, tentunya Arsid tahu benar, betapa bedanya “dipermalukan” dengan bentuk “kekerasan” lain. Dipermalukan dapat membangkitkan rasa sakit yang bisu. Bahkan untuk berapa waktu, kita bisa saja tak sanggup membicarakannya dengan keluarga, atau juga teman.
Tapi bisakah kita hapuskan apa yang lebih berarti dalam diri Arsid, yakni sikap rendah diri seorang korban? Seorang yang tak kunjung selesai “dihabisi” dengan bahasa-bahasa yang muram, namun menyikapinya dengan ketenangan?. Bukankah di saat seperti itu, Arsid—“sang korban”—justru bisa mendapatkan auranya sendiri?. Kelirukah saya bila menerka bahwa akibat dari semua ini, maka saya katakan: “Saudara Arsid, besok akan lebih banyak lagi yang ikut serta denganmu”. Maka tak perlu cemas pada 27 Februari nanti.
Dan, saya juga ingin bertanya kepada para pembuat teror bahasa: Apakah Anda sangat yakin—dengan memfitnah secara bertubi-tubi—maka jadi dekatkah Anda dengan pemilih? atau justru jadi tambah kacau?. (*)
ARU WIJAYANTO
Bogor, 20 Februari 2011
|
|
---|