Oleh SUBHAN SD
Pada zaman feodal di China kuno, kekuasaan politik dibagikan di antara keluarga dan sanak saudara. Ketika feodalisme hancur sekitar kurun 200 sebelum Masehi, takhta kekuasaan menjadi obyek yang diperebutkan pemburu kekuasaan. Di Indonesia hari ini, ketika pemilu kepala daerah menjadi bagian penting sistem demokrasi, rezim keluarga menjadi pemburu kekuasaan itu.
Fenomena pasca-kehancuran feodalisme pada akhir Dinasti Chou itu sepertinya menggambarkan fenomena kekinian Indonesia. Pascafeodalisme di China, betapa kaum nonbangsawan terjangkiti syahwat berkuasa. Kisah yang dituturkan ahli sejarah, Chien Ssu-ma, yang hidup pada zaman Dinasti Chin (255-207 SM), menjadi catatan menarik. Sewaktu menyaksikan arak-arakan raja di jalan umum, kepada temannya, ia mengatakan, ”Ini (kekuasaan) bisa kurebut.”
Hasrat berkuasa seperti itu mirip dengan semangat berkuasa di alam demokrasi karena setiap orang punya hak sama. Namun, runyamnya, jalur pertalian darah atau keluarga yang merupakan ciri masyarakat tradisional justru tersemai subur di lorong-lorong demokrasi yang terus dibangun di negeri ini.
Tak mengherankan, sejak pemilu kepala daerah (pilkada) menjadi proses demokrasi di tingkat lokal pascaera otonomi daerah 10 tahun silam, politik dinasti atau rezim keluarga justru makin fenomenal. Pilkada yang melahirkan elite daerah (oligarki) kian disesaki dengan lakon suami-istri, orangtua-anak, atau kakak-adik.
Saat bupati petahana (incumbent) tidak bisa lagi ”naik ring” karena sudah dua periode, seperti diatur Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, para istri yang naik pentas. Itulah yang dilakukan Sri Suryawidati (Ida), istri Bupati Bantul, DI Yogyakarta, Idham Samawi; Titik, istri Bupati Sukoharjo, Jawa Tengah, Bambang Riyanto; dan Widya Kandi Susanti, istri Hendy Boedoro, Bupati Kendal, Jateng.
Bahkan, kasus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mirip gaya total football Belanda. Bupati Irianto MS Syaifuddin memberikan restu kepada istrinya, Anna Sophana, dan anaknya, Daniel Mutaqien, untuk mencalonkan diri bersama. Mereka berebut tiket dari Partai Golkar. Kasus rezim keluarga terlihat pula pada pilkada di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, atau Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Sebagai bagian dari lingkaran dalam penguasa petahana, pasti mereka memiliki modal kuat.
Nafsu kuasa tampaknya tak mudah dibatasi. Sepenggal ungkapan klasik Lord Acton (1834-1902), ”kekuasaan cenderung korup”, pun tak mampu menjadi pengingat. Tak heran, aturan UU No 32/2004 pun bisa ”diakali”. Salah satu modusnya adalah bertukar jabatan. Kepala daerah petahana memilih ”turun takhta” ke posisi wakil agar bisa ”bertarung” lagi.
Wali Kota Surabaya Bambang DH turun menjadi wakil wali kota. Sebetulnya Bambang ingin mencalonkan lagi sebab merasa pada periode pertama, ia menggantikan Wali Kota Sunarto Sumoprawiro yang meninggal. Namun, uji materi terhadap UU itu yang diajukannya kandas di Mahkamah Konstitusi.
Di Jembrana, Bali, Bupati Gede Winasa yang sudah menjabat dua periode dikabarkan akan menduduki wakil bupati mendampingi anaknya, Patriana Krisna.
Karut-marut politik rezim keluarga di pilkada kian ruwet. Contoh mutakhir adalah kasus di Bone Bolango, Gorontalo. Bupati Ismet Mile (petahana) yang bertarung kembali untuk periode kedua justru ditantang istri pertamanya, Ruwaida Mile. Pertarungan ini terpicu persoalan dalam rumah tangga.
Fenomena rezim keluarga itu, menurut pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, tak beda dengan feodalisme pada masa silam. Hal itu membuat penyaluran aspirasi masyarakat menjadi semu. Fenomena itu, ungkap Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Brawijaya, Malang, Solichin Abdul Wahab, memperlihatkan demokrasi belum selesai sepeninggal Orde Baru yang otoritarian. ”Pada masa Orde Baru, dinasti (rezim) keluarga menguasai sektor ekonomi. Tetapi, sekarang masuk di bidang politik,” kata Solichin. Dalam konteks rezim keluarga itu menunjukkan banyaknya penunggang gelap yang akhirnya membuat kualitas demokrasi menurun.
Apabila kondisi ini terus terjadi, kata Andrinof, tak pelak akan merusak sistem demokrasi. Padahal, tahun ini akan digelar pilkada di 244 daerah, yaitu 7 provinsi, 202 kabupaten, dan 35 kota.
Fungsi parpol
Demokrasi menjamin hak setiap orang untuk maju di pilkada, termasuk artis. Namun, sebagai bagian penahapan peradaban yang menjunjung nilai kemanusiaan, demokrasi tak melulu menjamin hak individu, tetapi juga tidak boleh melanggar hak publik dalam mencari figur pemimpin yang ideal.
Persamaan hak dalam demokrasi semestinya diikuti persyaratan bagi seorang pemimpin publik, antara lain, kualitas, kapasitas, kapabilitas, integritas, dan tentu moralitas. Dalam beberapa kasus, justru banyak parpol mencalonkan sosok populer yang sama sekali tak mengenal suatu daerah. Ini memperlihatkan, parpol lebih serius dalam urusan merebut kekuasaan ketimbang tujuan akhir pesta demokrasi, yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Runyamnya lagi, rezim keluarga juga menimbulkan pertarungan tidak fair. Rezim keluarga justru lebih diuntungkan, antara lain modal kuat, atribusi kedekatan incumbent, hingga kemungkinan pemanfaatan instrumen politik. Tak sedikit orang potensial yang kalah sebelum bertanding. Bayangkan saja, betapa muramnya demokrasi ketika muncul ”calon boneka”.
Kita tidak boleh lupa unsur demokrasi yang diintroduksi Montesquieu (1689-1755), trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), tentu agar tak terjadi pemusatan kekuasaan di satu pihak. Bahkan, Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara di Perancis pada 1789 menyebutkan, ”kedaulatan ada di tangan bangsa”, bukan keluarga.
Jika kondisi sekarang yang terjadi, bukan saja pembenaran kritikan Immanuel Kant (1724-1804), sesungguhnya demokrasi di negeri ini tengah menukik tajam.
----
sumber: http://cetak.kompas.com/read/2010/05/11/02513565/feodalisme.di.lorong.demokrasi
Pada zaman feodal di China kuno, kekuasaan politik dibagikan di antara keluarga dan sanak saudara. Ketika feodalisme hancur sekitar kurun 200 sebelum Masehi, takhta kekuasaan menjadi obyek yang diperebutkan pemburu kekuasaan. Di Indonesia hari ini, ketika pemilu kepala daerah menjadi bagian penting sistem demokrasi, rezim keluarga menjadi pemburu kekuasaan itu.
Fenomena pasca-kehancuran feodalisme pada akhir Dinasti Chou itu sepertinya menggambarkan fenomena kekinian Indonesia. Pascafeodalisme di China, betapa kaum nonbangsawan terjangkiti syahwat berkuasa. Kisah yang dituturkan ahli sejarah, Chien Ssu-ma, yang hidup pada zaman Dinasti Chin (255-207 SM), menjadi catatan menarik. Sewaktu menyaksikan arak-arakan raja di jalan umum, kepada temannya, ia mengatakan, ”Ini (kekuasaan) bisa kurebut.”
Hasrat berkuasa seperti itu mirip dengan semangat berkuasa di alam demokrasi karena setiap orang punya hak sama. Namun, runyamnya, jalur pertalian darah atau keluarga yang merupakan ciri masyarakat tradisional justru tersemai subur di lorong-lorong demokrasi yang terus dibangun di negeri ini.
Tak mengherankan, sejak pemilu kepala daerah (pilkada) menjadi proses demokrasi di tingkat lokal pascaera otonomi daerah 10 tahun silam, politik dinasti atau rezim keluarga justru makin fenomenal. Pilkada yang melahirkan elite daerah (oligarki) kian disesaki dengan lakon suami-istri, orangtua-anak, atau kakak-adik.
Saat bupati petahana (incumbent) tidak bisa lagi ”naik ring” karena sudah dua periode, seperti diatur Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, para istri yang naik pentas. Itulah yang dilakukan Sri Suryawidati (Ida), istri Bupati Bantul, DI Yogyakarta, Idham Samawi; Titik, istri Bupati Sukoharjo, Jawa Tengah, Bambang Riyanto; dan Widya Kandi Susanti, istri Hendy Boedoro, Bupati Kendal, Jateng.
Bahkan, kasus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mirip gaya total football Belanda. Bupati Irianto MS Syaifuddin memberikan restu kepada istrinya, Anna Sophana, dan anaknya, Daniel Mutaqien, untuk mencalonkan diri bersama. Mereka berebut tiket dari Partai Golkar. Kasus rezim keluarga terlihat pula pada pilkada di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, atau Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Sebagai bagian dari lingkaran dalam penguasa petahana, pasti mereka memiliki modal kuat.
Nafsu kuasa tampaknya tak mudah dibatasi. Sepenggal ungkapan klasik Lord Acton (1834-1902), ”kekuasaan cenderung korup”, pun tak mampu menjadi pengingat. Tak heran, aturan UU No 32/2004 pun bisa ”diakali”. Salah satu modusnya adalah bertukar jabatan. Kepala daerah petahana memilih ”turun takhta” ke posisi wakil agar bisa ”bertarung” lagi.
Wali Kota Surabaya Bambang DH turun menjadi wakil wali kota. Sebetulnya Bambang ingin mencalonkan lagi sebab merasa pada periode pertama, ia menggantikan Wali Kota Sunarto Sumoprawiro yang meninggal. Namun, uji materi terhadap UU itu yang diajukannya kandas di Mahkamah Konstitusi.
Di Jembrana, Bali, Bupati Gede Winasa yang sudah menjabat dua periode dikabarkan akan menduduki wakil bupati mendampingi anaknya, Patriana Krisna.
Karut-marut politik rezim keluarga di pilkada kian ruwet. Contoh mutakhir adalah kasus di Bone Bolango, Gorontalo. Bupati Ismet Mile (petahana) yang bertarung kembali untuk periode kedua justru ditantang istri pertamanya, Ruwaida Mile. Pertarungan ini terpicu persoalan dalam rumah tangga.
Fenomena rezim keluarga itu, menurut pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, tak beda dengan feodalisme pada masa silam. Hal itu membuat penyaluran aspirasi masyarakat menjadi semu. Fenomena itu, ungkap Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Brawijaya, Malang, Solichin Abdul Wahab, memperlihatkan demokrasi belum selesai sepeninggal Orde Baru yang otoritarian. ”Pada masa Orde Baru, dinasti (rezim) keluarga menguasai sektor ekonomi. Tetapi, sekarang masuk di bidang politik,” kata Solichin. Dalam konteks rezim keluarga itu menunjukkan banyaknya penunggang gelap yang akhirnya membuat kualitas demokrasi menurun.
Apabila kondisi ini terus terjadi, kata Andrinof, tak pelak akan merusak sistem demokrasi. Padahal, tahun ini akan digelar pilkada di 244 daerah, yaitu 7 provinsi, 202 kabupaten, dan 35 kota.
Fungsi parpol
Demokrasi menjamin hak setiap orang untuk maju di pilkada, termasuk artis. Namun, sebagai bagian penahapan peradaban yang menjunjung nilai kemanusiaan, demokrasi tak melulu menjamin hak individu, tetapi juga tidak boleh melanggar hak publik dalam mencari figur pemimpin yang ideal.
Persamaan hak dalam demokrasi semestinya diikuti persyaratan bagi seorang pemimpin publik, antara lain, kualitas, kapasitas, kapabilitas, integritas, dan tentu moralitas. Dalam beberapa kasus, justru banyak parpol mencalonkan sosok populer yang sama sekali tak mengenal suatu daerah. Ini memperlihatkan, parpol lebih serius dalam urusan merebut kekuasaan ketimbang tujuan akhir pesta demokrasi, yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Runyamnya lagi, rezim keluarga juga menimbulkan pertarungan tidak fair. Rezim keluarga justru lebih diuntungkan, antara lain modal kuat, atribusi kedekatan incumbent, hingga kemungkinan pemanfaatan instrumen politik. Tak sedikit orang potensial yang kalah sebelum bertanding. Bayangkan saja, betapa muramnya demokrasi ketika muncul ”calon boneka”.
Kita tidak boleh lupa unsur demokrasi yang diintroduksi Montesquieu (1689-1755), trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), tentu agar tak terjadi pemusatan kekuasaan di satu pihak. Bahkan, Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara di Perancis pada 1789 menyebutkan, ”kedaulatan ada di tangan bangsa”, bukan keluarga.
Jika kondisi sekarang yang terjadi, bukan saja pembenaran kritikan Immanuel Kant (1724-1804), sesungguhnya demokrasi di negeri ini tengah menukik tajam.
----
sumber: http://cetak.kompas.com/read/2010/05/11/02513565/feodalisme.di.lorong.demokrasi
Politik Dinasti. Feodalisme di Lorong Demokrasi