SYAHDAN di Italia Utara, tahun 1176, satu pasukan para kesatria Jerman yang hidup sebagai rampok datang menyerbu untuk menjarah isi kota Legnano. Tapi, berbeda dengan di tempat lain, di Legnano ternyata para penyerbu mendapatkan perlawanan sengit, lalu dikalahkan, oleh warga yang mempersenjatai diri dan bersiap-siaga tanpa rasa gentar. Sebuah tindak sukarela dengan mengandalkan pertalian yang tumbuh dari rasa ikut memiliki. Tapi zaman telah berubah: kekuatan semacam itu sulit ditemukan, meski tak hilang sepenuhnya.
Kota-kota makin rentan oleh konflik di dalam kancahnya sendiri. Bahkan bila ia segemerlap Paris atau Madrid, sebuah kota bukan lagi tempat yang selama-lamanya longgar, dan enak untuk bernafas. Ketika tiap jengkal yang kita miliki berarti tiap jengkal yang tak dimiliki orang lain—juga sebaliknya. Tak ada bagian kota yang dapat bebas dari kelangkaan dan kekurangan: itulah sebabnya ada ekonomi, orang berproduksi, dan tukar-menukar tak henti-henti dilakukan. Saya kira itulah yang traumatis dalam sebuah masyarakat kota saat ini—termasuk di Tangerang Selatan.
Di sini, orang membeli satu-dua unit apartemen di Singapura, menikahkan anak di Convention Hall Jakarta, memberi kado calon istri dengan berlian 300 juta, bukanlah hal aneh. Bahkan ada yang tak risau meski setelah kalah judi 5.000 poundsterling di London atau ludes 50.000 ringgit di Genting, Malaysia. Juga hal biasa ketika kamar rumah sakit internasional seharga 1,5 juta per hari dipenuhi pasien yang (sebenarnya) hanya menderita masuk angin, atau radang tenggorokan.
Tapi kita juga tahu, puskesmas, meski dengan pelayanan ala kadarnya—bahkan cenderung buruk—tiap hari selalu penuh oleh warga ber-KTP Tangerang Selatan, lengkap dengan rasa putus asanya masing-masing. Belum lagi saudara-saudara kita yang terlalu lama menganggur hingga akhirnya berubah menjadi perusuh kecil di jalanan, atau di pasar. Maka kita tahu apa artinya: apa yang ada di balik kota ini, yakni kekayaan yang begitu timpang dan kesempatan yang selisih jauh.
Kita segera tahu: persoalan ini tak mungkin selesai hanya dengan memberi sumbangan kepada si fakir. Kota ini butuh pemimpin, bukan penyumbang—itu pun kalau sungguh-sungguh menyumbang untuk kemanusiaan. Mungkinkah ada warga yang ingin selamanya menjadi fakir meski disantuni saban hari?. Saya tak yakin ada yang mau. Di sini Arsid sesungguhnya telah mengajari kita kearifan: betapa mustahilnya kita untuk tak menjadi ”manusia kecil”, tapi pada saat yang sama, kita toh dapat—bila mau—mengubah diri sendiri agar tak senantiasa ”lintang pukang”.
Arsid tahu persoalan kesenjangan sosial harus dapat diatasi, sebab itu ia tak bisa memilih sikap acuh tak acuh, yang sama artinya telah bersekongkol dengan ketimpangan. Ia paham, seperti kata James C Scott (1981), kemiskinan telah menyebabkan masyarakat rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life, mempertaruhkan tenaga fisik dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkannya. Ini tentu menyedihkan.
Maka tepat sekali bila Arsid mengawali pembenahan Tangerang Selatan dengan menegakkan good government governance; sebagai good exercise of power—yang juga erat kaitannya dengan program pengentasan kemiskinan (social safety net), tingkat keamanan finansial, serta potensi pertumbuhan daerah. Konsep ini akan terbangun ketika kita memulainya dengan pendekatan holistik serta melibatkan banyak lembaga dan cara pandang: melibatkan berbagai unsur di dalamnya, seperti; sistem yang dibangun, kultur, publik, industri, dan sebagainya.
Ini bermakna bahwa program pengembangan daerah diharapkan memenuhi kaidah penyusunan rencana yang sistematis, terpadu, transparan, dan akuntabel--konsisten dengan rencana lainnya yang relevan--serta bermuatan adanya kepemilikan rencana (sense of ownership) bersama. Kita tahu, Arsid sangat memahami bahwa pengembangan daerah adalah sebuah proses kemitraan antara pemerintah daerah dengan stakeholders dalam mengelola berbagai sumber daya setempat secara lebih baik.
Dengan kemitraan itu program yang disusun akan mendapat dukungan optimal bagi implementasinya—tentu selama mempertimbangkan karakteristik daerah (ekonomi, social, budaya, dan politik) serta memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkage) secara kuat. Sebab menurut Blakely, ciri utama pengembangan ekonomi lokal adalah bagaimana pemerintah menitikberatkan pada kebijakan “endogenous development" mendayagunakan potensi sumber daya manusia, institutional, dan fisik setempat.
Orientasi ini mengarahkan perencana daerah untuk fokus pada proses pembangunan dalam menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi (Blakely, 1989). Pada tataran ini, Arsid tak akan menemui kendala. Ia begitu mengenali kekuatan dan kelemahan Tangerang Selatan--di samping ia juga sosok yang inovatif dan visioner--hingga memudahkan proses transformasi gagasan dan pengetahuan baru dalam kaitannya dengan pengembangan daerah ke depan.
Meski bagi saya, salah satu yang (selalu) menarik dari sosok Arsid adalah: di dalam hatinya selalu ada kehendak untuk mengubah keadaan, ke arah emansipasi sosial dan memusnahkan ketidakadilan. Arsid muncul ketika (nyaris) tak ada yang melihat bahwa ada jalan yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan daerah ini. Saya menyebutnya sebagai sebuah upaya untuk menghentikan persekutuan jahat yang bisa kapan saja menguasai kota ini, yang dapat menambah kerumitan persoalan di kemudian hari.
Kita tahu, untuk menghentikan persekutuan jahat itu pada akhirnya harus melalui sebuah alat: kekuasaan. Maka saya hanya ingin mengatakan: jika kita pura-pura tidak tahu (akan) ada persekutuan jahat, jika kita tidak merasa bersalah bila nanti daerah ini runtuh akibat kita merasa tak perlu berurusan dengan apa yang akan terjadi hari ini atau nanti, itu berarti kita tak lagi punya hati. Sebab pada dasarnya kita semua bisa memilih saat ini: untuk merasa gentar, terpesona, terhina, atau tidak sama sekali.
Saya yakin, Arsid tak pernah berjanji bakal membuat kota ini segemerlap Singapura atau Milan—dalam lima tahun ke depan, atau serupa Baghdad pada abad ke-10; ketika Khalifah Harun Al-Rasyid memimpin negeri Aladin itu. Ia juga tak berjanji akan menyulap Tangerang Selatan menjadi Madinat al-Munawarah (kota yang bersinar kebenaran)—seperti sebutan Rasulullah Muhammad atas kota Yastrib. Tapi kita tahu, meski tak dikatakan, Arsid—seperti kita semua—hanya ingin memulai pembenahan kota ini sebagai Madinat al-Salam; Kota Perdamaian. Bukan Madinat al-Harb; Kota Peperangan, kekacauan, dan pada akhirnya kehancuran.
Agaknya, ini waktu yang tepat bila ingin membangun sikap ethis kita: mencegah hadirnya persekutuan jahat di Tangerang Selatan.
ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 23 Februari 2011
CATATAN UNTUK ARSID (7)
|
|
---|