Anggota BPK/Mantan ketua KPK
Apakah Anda masih ingat dengan iklan mobil kijang yang pernah tersohor beberapa tahun yang lalu? Mari kita ingat bagaimana si anak berkata dengan riang: "Ada bapak, ibu, teteh, uwak, bibi, cukup untuk semua." Dalam iklan itu, mobil kijang menasbihkan dirinya sebagai kendaraan serbaguna yang cocok untuk keluarga besar yang umum di Indonesia.
Zaman terus bergulir. Orde Baru pun sudah hampir 13 tahun tumbang. Demokrasi di zaman reformasi menjadi nilai dasar yang menggelora di setiap sudut negeri ini. Namun, perjalanan demokrasi di negeri kita berjalan tidak pada track-nya karena terdistorsi oleh pragmatisme dan keserakahan.
Dinasti politik
Seharusnya, demokrasi sesuai hakikatnya merupakan sistem yang menghormati hak-hak warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama di dalam politik. Tapi, apa yang terjadi dengan performa kita hari-hari ini? Politik di negeri kita layaknya sebuah mobil kijang, semua anggota keluarga, mulai dari ayah, ibu, tante, kakak, adik, menantu secara bersama-sama masuk ke dalam dunia politik tanpa mempertimbangkan kepatutan dan kelayakan, apalagi kompetensi.
Pada akhirnya, demokrasi bangsa ini yang seharusnya merupakan bentuk pemerintahan untuk kepentingan rakyat dan oleh rakyat telah dibajak oleh segelintir orang. Mungkin orang tadi terinspirasi oleh iklan mobil tersebut atau memang sudah tabiat dasar orang-orang ini yang membungkus ambisi kekuasaan dengan dalih demokrasi.
Dengan bekal jabatan yang dimiliki, mereka memberi akses yang optimal kepada keluarga besarnya untuk masuk ke dalam dunia politik. Mereka meng-endorse keluarga besarnya untuk mengisi jabatan politik yang tersedia. Lihat saja kursi-kursi jabatan politik, mulai dari DPR/DPD/DPRD, gubernur, wakil gubernur, bupati/wali kota, hingga wakil bupati/wakil wali kota, banyak diduduki oleh orang-orang yang memiliki ikatan kekeluargaan.
Jika istri menjadi gubernur, suami atau anggota lainnya semuanya di-endorse dan difasilitasi untuk menduduki jabatan politik (publik) yang berada dalam domain kekuasaan dan pengaruhnya. Masalah kemampuan tidak penting. Yang terpenting terpilih dalam proses pemilihan yang legal walaupun proses pemilihannya dilaksanakan dengan praktik-praktik yang tidak fair, seperti penggunaan fasilitas pemerintah, jaringan birokrasi, dan keuangan pemerintah untuk pemenangan kerabatnya tersebut.
Demokrasi minus etika
Gejala yang sama dilakukan di lingkungan partai politik. Seorang ketua umum, pembina, atau pendiri dan petinggi partai berusaha menempatkan anggota keluarganya dalam jajaran elite pengurus partai sebagai persiapan regenerasi.
Dalam dinasti politik, sistem rekrutmen politik yang berdasarkan kekerabatan dapat kita lihat dari penyusunan daftar calon legislatif (caleg) di pemilu legislatif. Partai akan mengakomodasi kepentingan petinggi maupun elite partai dengan cara memasukkan nama anggota keluarganya di daftar caleg DPR, DPD, dan DPRD.
Bahkan, sampai-sampai seorang gubernur akan meng-endorse anak atau adiknya untuk menduduki jabatan bupati/wali kota. Tidak sedikit pula bupati/wali kota yang meng-endorse istrinya atau anaknya untuk menjadi pewarisnya sebelum yang bersangkutan mengakhiri jabatannya.
Adakah yang salah dengan pola rekrutmen politik seperti itu? Tidak ada yang salah. Karena secara formal, prosesnya dipilih melalui pemilu yang sah. Dan bukankah semua orang memiliki hak yang sama? Setiap partai tentu akan dengan senang hati menempatkan anggota keluarga pimpinan partai karena popularitas dan kekuasaan dari figur pimpinan partai tersebut diharapkan dapat mendongkrak perolehan partai tersebut.
Akan tetapi, mekanisme rekrutmen politik dengan cara "politik mobil kijang" ini berbahaya bagi proses demokrasi dan penciptaan pemerintahan yang bersih serta pengelolaan pemerintahan yang baik (clean government and good government) dan bersih atau bebas dari praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Ada kelemahan dalam "politik mobil kijang". Pertama, dinasti politik akan mempersempit kesempatan bagi kader-kader lain yang memiliki kualitas dan memulai kariernya dari bawah. Dengan dinasti politik ini, setiap orang justru tidak memiliki hak yang setara. Kedua, dinasti politik lebih mengandalkan kekerabatan dibanding kemampuan (capability) dan integritas (integrity) calon.
Partai politik memang harus memiliki figur yang dapat dijadikan ikon serta persatu bagi anggota partainya, tetapi elite politik hendaknya menyadari bahwa tidak semua anak tokoh politik memiliki kapasitas yang sama dengan orang tuanya ataupun kakeknya. Ketiga, anggota keluarga petinggi partai atau pejabat publik belum tentu teruji kemampuan dan integritasnya sehingga pemilih seperti memilih kucing dalam karung (kucingnya sehat atau penyakitan), kita cuma diberi tahu bahwa jenis kucing ini keturunan "kucing persia". Keempat, dengan adanya ikatan kekerabatan antara pimpinan partai politik, pejabat publik, dan pejabat legislatif, prinsip-prinsip check and balances yang menjadi syarat bagi demokrasi yang sehat sulit tercapai.
Saya mencoba menilai ulang konsep mobil kijang itu. Sebesar-besarnya mobil kijang, pasti ada keterbatasan jumlah untuk memuat anggota keluarga. Dan polisi pun akan menilangnya kalau mobil tersebut kelebihan muatan. Namun, dalam demokrasi "politik mobil kijang" (dinasti politik) seolah menjadi tidak ada batasnya karena ingin memuat seluruh kerabat.
Saya berpikir, apakah mereka membangun "dinasti politik" dengan orientasi untuk membangun negeri ini agar menjadi lebih baik, atau semata-mata berorientasi pada kekuasaan demi melanggengkan kepentingan keluarganya.
Demokrasikah yang sedang kita bangun ini atau oligarki yang bermantel demokrasi. Sudah sampai pada waktunya kita menyadari bahwa apabila dinasti politik dibiarkan, tinggal tunggu saatnya otoritarianisme akan kembali menguasai negeri kita tercinta ini.
------------
Sumber:
http://republika.co.id:8080/koran/24/128189/Politik_Mobil_Kijang
Politik Mobil Kijang