ARSID BUKAN PENGUSAHA, maka ia tak akan menemui kendala untuk memisahkan antara kepentingan pemerintah (public) dengan kepentingan bisnis (private) yang self-serving dan self-seeking. Itulah salah satu keunggulan Arsid, di samping pengalamannya sebagai camat telah membuatnya memiliki kesadaran moral tentang kekuasaan sebagai alat untuk melayani masyarakat, dan bukan sebaliknya: merampas hak warga. Ia juga sosok yang kuat secara kategoris, prinsipil dalam semangat pelayanan dan pengorbanan serta mampu berkomitmen pada kemaslahatan umum--dan bukan kepentingan parsial.
Pernah ada pertanyaan, apakah seorang camat itu sebenarnya lebih berperan sebagai sosok perwakilan penguasa yang birokratik dan otokratik, ataukah ia justru cenderung berfungsi sebagai bagian dari kekuatan baru yang dikehendaki agar ikut mendorong proses demokratisasi?. Saya melihatnya tiap camat memiliki peluang besar untuk ikut mendorong proses demokratisasi. Sebab kita tahu, camat—meski tak selalu mudah—adalah orang yang bertugas di garis terdepan untuk selalu bertatap muka dengan warga, hingga ia tak akan bisa menghindar dari posisinya sebagai public servant (abdi masyarakat) dalam kehidupan bernegara.
Artinya, dengan segala kemampuan yang berbeda-beda, tiap-tiap camat akan selalu dituntut untuk memiliki kemampuan serta menjalankan fungsi sebagai pemecah masalah di wilayahnya sesuai dengan prinsip-psinsip demokrasi: from the people, by the people, for the people. Dan, Arsid telah berhasil melewati “tahapan” itu dengan melihat demokrasi sebagai sebuah sarana untuk mendorong terciptanya ruang-ruang publik yang dapat digunakan oleh tiap warga yang merdeka, baik dalam arti pribadi-individual maupun kelompok, untuk menandai dirinya dari segala tujuan hidup—baik yang mayoritas maupun minoritas.
Maka tak heran bila Arsid—yang memiliki karakter nafsul mutmainnah; jiwa yang tenang dan bersih--berhasil mendorong apa yang disebut sebagai ruang yang “soliter” untuk digantikan oleh yang “solider” di kota ini. Ia berhasil membangun rasa kebersamaan yang kuat di tengah situasi kota yang terus mendorong kita untuk makin berjarak dengan banyak hal, ketika penderitaan (seakan-akan) milik masing-masing: tak punya kesempatan untuk dibagi. Ketika banyak orang melihat kemeja necis Emiglio Zegna, Ralph Lauren, atau Hugo Boss, tanpa pernah peduli siapakah nama-nama itu: apakah ia seorang desainer atau selebriti yang namanya dipinjam untuk merk.
Kita tahu, pernah ada cita-cita untuk membangun pilihan lain agar manusia bisa kembali menikmati hidup bukan sebagai komoditas belaka. Arsid berkampanye dengan menggugah kesadaran bahwa tak selamanya hal ikhwal harus melulu punya “nilai-tukar”. Ia mencoba membangun pemahaman: manusia tak selama-lamanya makhluk yang hidup dengan subyektivitasnya sendiri, melainkan juga dengan “inter-subyektivitas”—dan sebab itu, bahkan dalam keadaan berat, kita (mestinya) masih bisa menyempatkan diri untuk memikirkan perasaan orang lain.
Tapi mungkin juga yang hendak dipertahankannya adalah Tangerang Selatan sebagai ingatan yang berharga. Seperti Indonesia, sejak kanak-kanak, kita diberi rasa bangga akan sebuah negeri yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Kenangan itu sangat intim dan telah menjadi bagian dari identitas kita. Kenangan tentang sebuah “Indonesia” yang merekam niat mulia yang hendak menjabat tangan orang lain yang berbeda dengan ikhlas. Toh, Arsid melihat demokrasi sebagai way of life, pandangan hidup, serta tata nilai yang mampu mendorong terbangunnya sikap egaliter dan transparan.
Saya rasa itulah jawaban mengapa pasangan Arsid-Andre memperoleh suara yang signifikan pada pilkada 13 November 2010. Keduanya tak berkonsentrasi pada “aku” sebagai pusat situasi, tapi “kita”—dengan cita-cita bersama. Arsid melawan monolog. Baginya, kemerdekaan berpikir, kemerdekaan berpendapat, akhirnya juga berarti kemerdekaan untuk jadi percakapan yang tulus, lengkap dengan kerendahan hati. Ia percaya, dalam diri tiap manusia ada yang menyebabkan orang—dengan otonomi penuh—menghormati dan mematuhi panggilan hukum moral: ketika diam-diam kita menolak suap untuk memilih kandidat tertentu, juga menolak untuk turut serta dalam rekayasa persoalan agar dapat dituduhkan ke lawan politik.
Kita tahu, siapa pun tak dapat meniadakan persaingan politik, tapi kita juga menyadari tak mungkin—juga tak boleh--ada kekuasaan yang mutlak membentuk masyarakat. Saya melihat ini sebagai sebuah sikap yang dapat diterima semua orang yang berakal-budi. Toh, dalam ketiadaan tempat berpegang, orang umumnya akan berpihak pada nurani. Kita sama-sama tahu, saat ini di Tangerang Selatan, kegelisahan bukan hanya hinggap di dada para aktivis lembaga swadaya masyarakat maupun kelompok prodemokrasi, tapi juga di hati warga biasa: bahkan yang sehari-harinya membaca Esquire, Dewi atau Cosmopolitan—tapi kini merasa terpanggil untuk memikirkan sesama yang lain.
Sebab kita tahu, di kota ini, monster bernama totalitarianisme sedang merangkak keluar dari sarangnya untuk melumat apapun yang bisa dilumat, terutama demokrasi. Dan orang segera cepat merasakan ada ketidakadilan dengan tajam, terutama saat menyaksikan demokrasi—secara terbuka--sedang dirampok pelbagai kepentingan demi kuasa dan harta melalui politik uang. Kita sadar, politik yang terjangkit mental totalitarianisme akan (selalu) sulit membangun pranata hukum, bisnis, demokrasi, bahkan kekuasaan yang tahan zaman, sebab hubungan sosial yang dikedepankan adalah semangat untuk saling menjegal, bahkan menghancurkan.
Pada tataran ini, konsep persaudaraan hanya dijadikan retorika. Bagi saya, totalitarianisme mengingatkan kita pada konsep “kesatuan” yang diimani Hitler, Stalin, dan Mao—yang terasa sebagai horor. Kesatuan bisa terasa sebagai palu godam yang menghantam mereka yang disingkirkan karena dianggap tak satu golongan, tak cocok untuk ”bersatu”: mereka yang berbeda pendapat. Yang merisaukan dalam pandangan itu adalah ketika ia tak mengakui fondasi bersama manusia yang kekal dan dapat dijadikan pegangan semua.
Situasi ini tentu tak menyehatkan bagi Tangerang Selatan ke depan, dan sebab itu mesti dicegah. Hal ini menjadi penting mengingat, seperti kata Richard Goldstone dalam Human Right in Political Transitions, yakni without justice, without acknowledgement, future evil leaders will more easily be able to manipulate historic grievances: tanpa keadilan, tanpa pengakuan, pemimpin-pemimpin yang jahat di masa depan akan dapat lebih mudah memanipulasi keluhan-keluhan historis. Arsid memang sedang mencoba mengatasi kerumitan ini. Ia, bagai ninja yang menyelinap di sebuah kastil agung mencoba memulai perlawanan: menghentikan angkara murka. Dan sebab itu, kita (juga) melawan.
Mereka mungkin punya banyak uang, tapi, kita punya satu “senjata” yang paling ampuh dari senjata apapun di belahan bumi ini. Senjata itu adalah penolakan kita untuk tunduk pada otoritas “luar” selain otoritas kita sendiri. Penolakan kita pada totalitarianisme yang sedang diusung beramai-ramai di kota ini. (*)
ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 26 Februari 2011
Pernah ada pertanyaan, apakah seorang camat itu sebenarnya lebih berperan sebagai sosok perwakilan penguasa yang birokratik dan otokratik, ataukah ia justru cenderung berfungsi sebagai bagian dari kekuatan baru yang dikehendaki agar ikut mendorong proses demokratisasi?. Saya melihatnya tiap camat memiliki peluang besar untuk ikut mendorong proses demokratisasi. Sebab kita tahu, camat—meski tak selalu mudah—adalah orang yang bertugas di garis terdepan untuk selalu bertatap muka dengan warga, hingga ia tak akan bisa menghindar dari posisinya sebagai public servant (abdi masyarakat) dalam kehidupan bernegara.
Artinya, dengan segala kemampuan yang berbeda-beda, tiap-tiap camat akan selalu dituntut untuk memiliki kemampuan serta menjalankan fungsi sebagai pemecah masalah di wilayahnya sesuai dengan prinsip-psinsip demokrasi: from the people, by the people, for the people. Dan, Arsid telah berhasil melewati “tahapan” itu dengan melihat demokrasi sebagai sebuah sarana untuk mendorong terciptanya ruang-ruang publik yang dapat digunakan oleh tiap warga yang merdeka, baik dalam arti pribadi-individual maupun kelompok, untuk menandai dirinya dari segala tujuan hidup—baik yang mayoritas maupun minoritas.
Maka tak heran bila Arsid—yang memiliki karakter nafsul mutmainnah; jiwa yang tenang dan bersih--berhasil mendorong apa yang disebut sebagai ruang yang “soliter” untuk digantikan oleh yang “solider” di kota ini. Ia berhasil membangun rasa kebersamaan yang kuat di tengah situasi kota yang terus mendorong kita untuk makin berjarak dengan banyak hal, ketika penderitaan (seakan-akan) milik masing-masing: tak punya kesempatan untuk dibagi. Ketika banyak orang melihat kemeja necis Emiglio Zegna, Ralph Lauren, atau Hugo Boss, tanpa pernah peduli siapakah nama-nama itu: apakah ia seorang desainer atau selebriti yang namanya dipinjam untuk merk.
Kita tahu, pernah ada cita-cita untuk membangun pilihan lain agar manusia bisa kembali menikmati hidup bukan sebagai komoditas belaka. Arsid berkampanye dengan menggugah kesadaran bahwa tak selamanya hal ikhwal harus melulu punya “nilai-tukar”. Ia mencoba membangun pemahaman: manusia tak selama-lamanya makhluk yang hidup dengan subyektivitasnya sendiri, melainkan juga dengan “inter-subyektivitas”—dan sebab itu, bahkan dalam keadaan berat, kita (mestinya) masih bisa menyempatkan diri untuk memikirkan perasaan orang lain.
Tapi mungkin juga yang hendak dipertahankannya adalah Tangerang Selatan sebagai ingatan yang berharga. Seperti Indonesia, sejak kanak-kanak, kita diberi rasa bangga akan sebuah negeri yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Kenangan itu sangat intim dan telah menjadi bagian dari identitas kita. Kenangan tentang sebuah “Indonesia” yang merekam niat mulia yang hendak menjabat tangan orang lain yang berbeda dengan ikhlas. Toh, Arsid melihat demokrasi sebagai way of life, pandangan hidup, serta tata nilai yang mampu mendorong terbangunnya sikap egaliter dan transparan.
Saya rasa itulah jawaban mengapa pasangan Arsid-Andre memperoleh suara yang signifikan pada pilkada 13 November 2010. Keduanya tak berkonsentrasi pada “aku” sebagai pusat situasi, tapi “kita”—dengan cita-cita bersama. Arsid melawan monolog. Baginya, kemerdekaan berpikir, kemerdekaan berpendapat, akhirnya juga berarti kemerdekaan untuk jadi percakapan yang tulus, lengkap dengan kerendahan hati. Ia percaya, dalam diri tiap manusia ada yang menyebabkan orang—dengan otonomi penuh—menghormati dan mematuhi panggilan hukum moral: ketika diam-diam kita menolak suap untuk memilih kandidat tertentu, juga menolak untuk turut serta dalam rekayasa persoalan agar dapat dituduhkan ke lawan politik.
Kita tahu, siapa pun tak dapat meniadakan persaingan politik, tapi kita juga menyadari tak mungkin—juga tak boleh--ada kekuasaan yang mutlak membentuk masyarakat. Saya melihat ini sebagai sebuah sikap yang dapat diterima semua orang yang berakal-budi. Toh, dalam ketiadaan tempat berpegang, orang umumnya akan berpihak pada nurani. Kita sama-sama tahu, saat ini di Tangerang Selatan, kegelisahan bukan hanya hinggap di dada para aktivis lembaga swadaya masyarakat maupun kelompok prodemokrasi, tapi juga di hati warga biasa: bahkan yang sehari-harinya membaca Esquire, Dewi atau Cosmopolitan—tapi kini merasa terpanggil untuk memikirkan sesama yang lain.
Sebab kita tahu, di kota ini, monster bernama totalitarianisme sedang merangkak keluar dari sarangnya untuk melumat apapun yang bisa dilumat, terutama demokrasi. Dan orang segera cepat merasakan ada ketidakadilan dengan tajam, terutama saat menyaksikan demokrasi—secara terbuka--sedang dirampok pelbagai kepentingan demi kuasa dan harta melalui politik uang. Kita sadar, politik yang terjangkit mental totalitarianisme akan (selalu) sulit membangun pranata hukum, bisnis, demokrasi, bahkan kekuasaan yang tahan zaman, sebab hubungan sosial yang dikedepankan adalah semangat untuk saling menjegal, bahkan menghancurkan.
Pada tataran ini, konsep persaudaraan hanya dijadikan retorika. Bagi saya, totalitarianisme mengingatkan kita pada konsep “kesatuan” yang diimani Hitler, Stalin, dan Mao—yang terasa sebagai horor. Kesatuan bisa terasa sebagai palu godam yang menghantam mereka yang disingkirkan karena dianggap tak satu golongan, tak cocok untuk ”bersatu”: mereka yang berbeda pendapat. Yang merisaukan dalam pandangan itu adalah ketika ia tak mengakui fondasi bersama manusia yang kekal dan dapat dijadikan pegangan semua.
Situasi ini tentu tak menyehatkan bagi Tangerang Selatan ke depan, dan sebab itu mesti dicegah. Hal ini menjadi penting mengingat, seperti kata Richard Goldstone dalam Human Right in Political Transitions, yakni without justice, without acknowledgement, future evil leaders will more easily be able to manipulate historic grievances: tanpa keadilan, tanpa pengakuan, pemimpin-pemimpin yang jahat di masa depan akan dapat lebih mudah memanipulasi keluhan-keluhan historis. Arsid memang sedang mencoba mengatasi kerumitan ini. Ia, bagai ninja yang menyelinap di sebuah kastil agung mencoba memulai perlawanan: menghentikan angkara murka. Dan sebab itu, kita (juga) melawan.
Mereka mungkin punya banyak uang, tapi, kita punya satu “senjata” yang paling ampuh dari senjata apapun di belahan bumi ini. Senjata itu adalah penolakan kita untuk tunduk pada otoritas “luar” selain otoritas kita sendiri. Penolakan kita pada totalitarianisme yang sedang diusung beramai-ramai di kota ini. (*)
ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 26 Februari 2011